Generasi Z Mencari Kedewasaan di TPS
Oleh : Winda Arianti, S.Si Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM.
Kita berdiri di persimpangan sejarah, menyambut gelombang pemilih baru yang kini dikenal sebagai Generasi Z (Gen Z). Mereka adalah warga negara yang lahir dan tumbuh bersama internet, media sosial, dan banjir informasi. Dalam konsep Pemilu dan Pilkada, Gen Z bukan sekedar penambah angka, tetapi adalah pilar krusial yang membawa tantangan dan harapan baru bagi etika berdemokrasi.
Tantangan Digital dalam Bilik Suara
Proporsi Gen Z dalam daftar pemilih menunjukkan kekuatan elektoral yang signifikan. Namun, kedewasaan mereka di Tempat Pemungutan Suara (TPS) seringkali dihadapkan pada dua tantangan utama:
1. Serangan Informasi di Ruang Gema (Echo Chamber)
Gen Z terbiasa mendapatkan informasi melalui algoritma yang menguatkan pandangan mereka sendiri (echo chamber). Hal ini berpotensi mereduksi proses mencari informasi menjadi sebatas afirmasi, bukan eksplorasi. Pemilihan berbasis isu yang substantif dapat tergeser oleh sentimen viral atau tren sesaat di media sosial. Tugas kita, sebagai penyelenggara adalah memastikan informasi kepemiluan yang akurat mampu menembus filter bubble tersebut.
2. Kesenjangan antara Keterlibatan Digital dan Partisipasi Fisik
Gen Z sangat aktif dalam isu-isu sosial dan politik di dunia maya misalnya pada petisi daring atau aktivisme media sosial. Namun, keterlibatan digital ini tidak selalu linier dengan partisipasi fisik yang matang yakni datang ke TPS dan menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan etis dan rasional. Fenomena golput atau memilih secara sembarangan seringkali menjadi manifestasi dari apatisme politik yang terbungkus dalam aktivisme digital.
Bagi Gen Z, kedewasaan di TPS bukanlah soal usia melainkan soal etika memilih. Etika ini mencakup tanggung jawab moral dan intelektual dalam menggunakan hak suara. KPU dan pemerintah memiliki peran penting untuk menstimulasi etika ini.
Pemilih rasional bukan emosional merupakan etika pertama memilih dengan rasio alih-alih emosi. KPU mendorong Gen Z untuk mempelajari rekam jejak, visi, dan misi kandidat, serta menimbang program kerja secara kritis. Pilihan harus didasarkan pada data dan track record, bukan hanya daya tarik branding atau popularitas di media sosial.
Melawan politik uang dan hoaks dimana Gen Z harus menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas Pemilu. Kedewasaan politik adalah menolak segala bentuk politik uang dan secara aktif memverifikasi informasi sebelum membagikannya (check and recheck). Suara tidak ternilai harganya dan KPU senantiasa mengedukasi bahwa membeli atau menjual suara adalah penghianatan terhadap demokrasi.
Partisipasi aktif sebagai pengawas dimana etika memilih bukan hanya berakhir di bilik suara, tetapi meluas menjadi pengawasan aktif. Kami mengajak Gen Z untuk berperan sebagai agen pengawas partisipatif, melaporkan potensi pelanggaran dan memastikan integritas proses penghitungan suara di TPS.
KPU percaya bahwa Gen Z adalah generasi yang cerdas dan berpotensi menjadi jangkar bagi demokrasi yang lebih baik. Kami tidak meminta mereka menjadi pemilih yang seragam tetapi menjadi pemilih yang sadar.
Proses Pemilu dan Pilkada adalah momen otokritik bangsa. Dengan bekal literasi digital yang kuat, Pemilih Gen Z di Padang Pariaman sendiri ada sebanyak 42.999 orang seharusnya mampu mengubah tantangan informasi yang berlimpah menjadi peluang untuk melakukan pilihan yang terinformasi dan bertanggung jawab. Kedewasaan di TPS adalah ketika mereka menyadari bahwa satu suara yang mereka berikan hari ini akan menentukan kualitas hidup mereka di masa depan.
Mari kita pastikan TPS menjadi arena pencarian kedewasaan politik yang sesungguhnya bagi Gen Z, demi masa depan demokrasi Indonesia yang bermartabat.