Opini

Generasi Z Mencari Kedewasaan di TPS

Oleh : Winda Arianti, S.Si Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM. Kita berdiri di persimpangan sejarah, menyambut gelombang pemilih baru yang kini dikenal sebagai Generasi Z (Gen Z). Mereka adalah warga negara yang lahir dan tumbuh bersama internet, media sosial, dan banjir informasi. Dalam konsep Pemilu dan Pilkada, Gen Z bukan sekedar penambah angka, tetapi adalah pilar krusial yang membawa tantangan dan harapan baru bagi etika berdemokrasi. ​Tantangan Digital dalam Bilik Suara ​Proporsi Gen Z dalam daftar pemilih menunjukkan kekuatan elektoral yang signifikan. Namun, kedewasaan mereka di Tempat Pemungutan Suara (TPS) seringkali dihadapkan pada dua tantangan utama: ​1. Serangan Informasi di Ruang Gema (Echo Chamber) ​Gen Z terbiasa mendapatkan informasi melalui algoritma yang menguatkan pandangan mereka sendiri (echo chamber). Hal ini berpotensi mereduksi proses mencari informasi menjadi sebatas afirmasi, bukan eksplorasi. Pemilihan berbasis isu yang substantif dapat tergeser oleh sentimen viral atau tren sesaat di media sosial. Tugas kita, sebagai penyelenggara adalah memastikan informasi kepemiluan yang akurat mampu menembus filter bubble tersebut. ​2. Kesenjangan antara Keterlibatan Digital dan Partisipasi Fisik ​Gen Z sangat aktif dalam isu-isu sosial dan politik di dunia maya misalnya pada petisi daring atau aktivisme media sosial. Namun, keterlibatan digital ini tidak selalu linier dengan partisipasi fisik yang matang yakni datang ke TPS dan menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan etis dan rasional. Fenomena golput atau memilih secara sembarangan seringkali menjadi manifestasi dari apatisme politik yang terbungkus dalam aktivisme digital. ​Bagi Gen Z, kedewasaan di TPS bukanlah soal usia melainkan soal etika memilih. Etika ini mencakup tanggung jawab moral dan intelektual dalam menggunakan hak suara. KPU dan pemerintah memiliki peran penting untuk menstimulasi etika ini. ​Pemilih rasional bukan emosional merupakan etika pertama memilih dengan rasio alih-alih emosi. KPU mendorong Gen Z untuk mempelajari rekam jejak, visi, dan misi kandidat, serta menimbang program kerja secara kritis. Pilihan harus didasarkan pada data dan track record, bukan hanya daya tarik branding atau popularitas di media sosial. ​Melawan politik uang dan hoaks dimana Gen Z harus menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas Pemilu. Kedewasaan politik adalah menolak segala bentuk politik uang dan secara aktif memverifikasi informasi sebelum membagikannya (check and recheck). Suara tidak ternilai harganya dan KPU senantiasa mengedukasi bahwa membeli atau menjual suara adalah penghianatan terhadap demokrasi. ​Partisipasi aktif sebagai pengawas dimana etika memilih bukan hanya berakhir di bilik suara, tetapi meluas menjadi pengawasan aktif. Kami mengajak Gen Z untuk berperan sebagai agen pengawas partisipatif, melaporkan potensi pelanggaran dan memastikan integritas proses penghitungan suara di TPS. ​KPU percaya bahwa Gen Z adalah generasi yang cerdas dan berpotensi menjadi jangkar bagi demokrasi yang lebih baik. Kami tidak meminta mereka menjadi pemilih yang seragam tetapi menjadi pemilih yang sadar. ​Proses Pemilu dan Pilkada adalah momen otokritik bangsa. Dengan bekal literasi digital yang kuat, Pemilih Gen Z di Padang Pariaman sendiri ada sebanyak 42.999 orang seharusnya mampu mengubah tantangan informasi yang berlimpah menjadi peluang untuk melakukan pilihan yang terinformasi dan bertanggung jawab. Kedewasaan di TPS adalah ketika mereka menyadari bahwa satu suara yang mereka berikan hari ini akan menentukan kualitas hidup mereka di masa depan. ​Mari kita pastikan TPS menjadi arena pencarian kedewasaan politik yang sesungguhnya bagi Gen Z, demi masa depan demokrasi Indonesia yang bermartabat.

Tiga Pilar Bertanggung Jawab Secara Kolektif Untuk Kedaulatan Rakyat

Oleh : Winda Arianti, S.Si Ketua Divisi Sosdiklih, Parmas dan SDM. Tingginya angka partisipasi pada tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan) seringkali menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan demokrasi. Namun, pertanyaan mendasar yang perlu kita jawab bersama adalah: Tanggung jawab siapakah sebenarnya partisipasi dalam pemilu? ​Merujuk pada landasan konstitusional dan regulasi Pemilu di Indonesia, partisipasi bukanlah tanggung jawab satu pihak semata. Ia adalah tanggung jawab kolektif yang diemban secara sinergis oleh tiga pilar utama: Warga Negara, Negara (melalui Penyelenggara Pemilu), dan Peserta Pemilu. Pertama Warga Negara sebagai Pelaksana Kedaulatan Rakyat Merupakan landasan utama partisipasi terletak pada kedaulatan rakyat, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI 1945 dan Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945, yang menegaskan bahwa "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Sebagai Hak Konstitusional Berdasarkan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (3) UUD NRI 1945, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam pemerintahan dan berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Penggunaan hak pilih adalah perwujudan kedaulatan individu. Serta tanggung jawab moral dengan kehadiran di Tempat Pemungutan Suara (TPS) merupakan tanggung jawab setiap warga negara dewasa untuk menentukan arah kebijakan negara dan daerah. Partisipasi warga negara yang sejalan dengan asas Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (Luber Jurdil) menjadi fondasi legitimasi hasil Pemilu. ​Kedua Negara atau KPU sebagai Penjamin dan Fasilitator Hak Pilih ​KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri, memegang mandat konstitusional untuk menjamin kedaulatan rakyat dapat terlaksana secara efektif. Sebagai mana termaktub Pasal 22E Ayat (5) UUD NRI 1945 yang menetapkan KPU sebagai penyelenggara Pemilu serta Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Secara spesifik pada Pasal 14 huruf g mewajibkan KPU untuk "melaksanakan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu dan/atau Pemilihan serta mendorong partisipasi masyarakat." ​Juga dalam hal ini, Pemerintah berkedudukan sebagai pihak yang mendukung terselenggaranya Pemilu dan Pilkada yang demokratis, jujur, dan adil, tanpa melakukan intervensi terhadap independensi lembaga penyelenggara Pemilu. Peran KPU dalam Partisipasi adalah menciptakan sistem dan lingkungan yang memfasilitasi setiap warga negara untuk memilih tanpa hambatan. KPU bertanggung jawab diantaranya untuk aksesibilitas data pemilih dengan memastikan akurasi daftar pemilih dan kemudahan akses ke TPS. Pendidikan Pemilih dengan melaksanakan program sosialisasi dan pendidikan pemilih untuk meningkatkan kesadaran dan literasi politik masyarakat, sehingga partisipasi yang terjadi adalah partisipasi berkualitas berdasarkan rasionalitas, bukan mobilisasi semata. Keterbukaan Informasi dengan menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu secara transparan, sesuai amanat UU No. 7 Tahun 2017. ​Ketiga Peserta Pemilu sebagai Pendidik dan Penghubung Kebutuhan Rakyat ​Partai politik, calon anggota legislatif, dan pasangan calon Presiden/Kepala Daerah adalah pihak yang paling berkepentingan dalam Pemilu. Peran mereka sangat krusial dalam mendongkrak kualitas partisipasi. Partai politik bertanggung jawab untuk rekrutmen yang berkualitas dalam mencalonkan figur-figur terbaik yang mampu mewakili kepentingan rakyat. Pendidikan politik berkelanjutan dengan melakukan edukasi kepada konstituennya mengenai pentingnya menggunakan hak pilih dan memilih berdasarkan program kerja. ​Kampanye positif berlandaskan visi-misi yang jelas, serta menghindari hoax dan politik uang, sehingga masyarakat tergerak untuk berpartisipasi secara tulus dan cerdas. Berdasarkan tinjauan UUD NRI 1945 dan UU Pemilu, partisipasi tidak dapat diukur hanya dari seberapa sibuk KPU melakukan sosialisasi. Partisipasi pemilu adalah hak yang harus ditunaikan oleh warga negara, wajib difasilitasi oleh negara (KPU), dan didukung penuh oleh Peserta Pemilu. ​Demokrasi yang kuat hanya dapat terwujud jika setiap elemen bangsa melaksanakan tanggung jawabnya masing-masing. Mari bersama-sama pastikan bahwa setiap suara yang masuk adalah cerminan dari kedaulatan rakyat yang terdidik dan termotivasi, bukan sekadar pelengkap statistik. 

Menjadi Pemilih Pemula Cerdas

ERIK EKSRADA Divisi Sosdiklih KPU Kab. Padang Pariaman   Pemilihan umum merupakan sarana demokrasi guna mewujudkan sistem pemerintahan negara yang berkedaulatan rakyat. Pemerintah Negara yang dari rakyat, dijalankan sesuai kehendak rakyat dan diabdikan untuk kesejahteraan rakyat. karena Pemerintah tidak bisa bertindak apapun mengenai negara tanpa persetujuan rakyat. Oleh sebab itu ada DPR Dan MPR yang didesain untuk mewakili rakyat. Salah satu basis Pemilih dalam Pemilu adalah Pemilih Pemula, yakni mereka yang berusia 17-21 tahun. Kebanyakan basis ini berstatus sebagai pelajar SMA, MA dan Ponpes dan Mahasiswa. Secara umum Pemilih pemula belum memiliki pandangan politik yang Konstan, dimana pandangan politiknya masih dipengaruhi pandangan politik orang tua, lingkungan,informasi dari media social. Meski merekapun ikut dalam perbincangan politik bersama teman seumurannya, namun secara keseluruhan, pandangan politik mereka sangat dipengaruhi oleh factor Ekternal dan internal. pandangan politik Pemilih Pemula belum murni buah gagasan mereka secara personal, semuanya mengalir begitu saja tanpa banyak berpikir tentang dampak pilihannya. Namun demikian jika disigi dari aspek psikologi remaja, maka Pemilih Pemula merupakan pemilih yang bisa diarahkan menjadi pemilih Rasional. Pendidikan politik bagi Pemilih Pemula merupakan agenda yang sangat penting, karena proses Demokratisasi memerlukan keterdidikan Pemilih. Pemilih yang terdidik secara politik adalah warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara sehingga ia bisa mandiri ikut berpartisipasi secara langsung dan tidak langsung. Pemilih Pemula perlu diingatkan, bahwa mereka memiliki hak secara langsung untuk memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nurani tanpa perantara atau dorongan dari manapun. Pilihan mereka sangat menentukan dalam mewujudkan masa depan mereka yang lebih cerah. Menjadi pemilih Pemula yang cerdas dalam menghadapi pemilu 2024 ada 2 srategi yang harus dipahami yakni secara internal dan eksternal Lalu, apa strategi yang dilakukan Oleh Pemilih Pemula menjadi Pemilih cerdas secara internal dan ekternal dalam Pemilu 2024 nanti ?, pertama, Telusuri rekam jejak, visi misi, dan program kerjanya Pemilih yang cerdas tentu perlu teliti dan cermat dalam menentukan hak pilihnya kepada kandidat yang berkompetisi. Jadilah pemilih yang rajin menelusuri informasi rekam jejak calon pilihannya, mulai dari latar belakang, pendidikan, keluarga, aktivitas sosial dalam lingkungannya, apa saja karyanya, dan kerja yang sudah dilakukan untuk orang banyak. Kemudian, perhatikan visi misi yang dibuat, apakah sudah relevan dan sesuai dengan kebutuhan di masyarakat atau belum.Tak kalah penting, pilihlah calon pemimpin yang memiliki program kerja yang terukur dan tentunya realistis untuk dijalankan. Bukan program kerja yang dibuat hanya untuk menarik simpati publik. Calon yang baik biasanya tahu persis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan menawarkan sebuah solusi untuk mengatasinya. Kedua Lawan Money Politik, Salah satu yang akan kita temui di tengah perhelatan pesta demokrasi adalah bertebarannya money politic. Anehnya, fenomena ini menjadi sesuatu yang lazim di masyarakat. Pemilih yang cerdas tidak akan pernah tergoda untuk menerima tawaran pemberian sejumlah uang. Money politic adalah bentuk pengkhianatan terhadap demokrasi dan pelecehan terhadap masyarakat sebagai pemilih. Ketiga,Jadilah pemilih yang berdaulat tanpa ada intervensi politik oleh siapapun dan dalam bentuk apapun. Jagalah independensi pilihan politik sebagai pemilih untuk benar-benar memilih putra-putri terbaik bangsa yang layak untuk duduk di parlemen dan memimpin negeri tercinta Indonesia.     Aktif mengikuti perkembangan informasi soal Pemilu 2024 melalui media sosial resmi  milik KPU,Sebagai generasi yang melek teknologi, kita memang banyak mencari informasi mengenai Pemilu 2024 lewat media sosial, Tapi kita tetap harus berhati-hati dan pastikan kita selalu mendapat informasi dari sumber yang terpercaya biar tidak terkena hoax atau berita bohong yang mungkin banget tersebar saat Pemilu, Masing-masing Satker KPU Diprovinsi Maupun KPU DiKabupaten/Kota Memiliki Akun Resmi Media Sosial,, Follow dan ikut Akun Meia sosialnya agar mendapati Informasi terbaru tekait dengan kegiatan kepemiliuan dan Mendapatkan berita terupdeat tenatang info penting tentang pemilu 2024 Keempat,Ajak orang-orang sekitar untuk menggunakan hak suaranya alias jangan golput Tips terakhir yang tidak kalah penting adalah kita dapat turut serta mensukseskan Pemilu 2024 dengan cara sederhana yaitu ikut memberikan informasi seputar pemilu 2024 dari sumber yang terpercaya dan mengajak orang-orang disekitar kita untuk menggunakan hak suaranya alias tidak golput. Soalnya, golput itu tidak keren banget.  Sayangkan, padahal kita bisa ikut berkontribusi untuk kemajuan Indonesia 5 tahun mendatang. Kelima,Pemerintah harus menyediakan Fasilitas yang dapat mendukung kegiatan pemilih pemula dalam pendidikan politik dan merangsang untuk berpartisipasi aktif untuk menjadi pemilih pemula yang cerdas. keenam Harus ada penyajian iklan Dimedia dengan Tema “Generasi Pemilih Cerdas dalam pemilu” di dalam media yang dapat diakses oleh oleh pemilih pemula. Dan jangan sampai menggunakan bahasa yang mempersulit pemilih pemula dalam memahaminya. Selanjutnya komitmen yang kuat dari penyelenggara yaitu KPU dan Bawaslu  melakukan edukasi yang memberikan Gambaran dan arahan kepada Pemilih Pemula tenatng Pentingnya pemlu dan Pentingya memberikan Hak suara Pada Pelaksanaan Pemilu atau Pilkada. Ketujuh, membuatan kegiatan Sosialisasi dan Pendidikan pemilih secara langsung Kepada Pemilih Pemula secara Kontiniu seperti yang telah dilaksanakan KPU Padang Pariaman dengan membentuk Duta Demokrasi ditingkat Sekolah menengah/sederajat, Duta demokrasi didesain sebagai agen Demokrasi dilingkungan sekolah dan lingkungan sekitarnya dengan untuk memberikan pencerahan dengan harapan duta demokrasi ini juga sebagai motor Melakukan pemilos (Pemilihan Ketua Osis) sebagai mana yang diterapkan dalam Pemilu atau Pemilihan yang sebenarnya, pemilos ini juga Merupakan sarana Penerepan  Pratek demokrasi dan Pemilu dilingkungan sekolah dan sebagai edukasi Politik Secara Langsung dikalangan Pemilih Pemula ini, disamping itu membuat kegiatan keatifitas berupa vidio Vlog sebagai saran tempat menyalurkan ide pikiran dan pemahaman tentang kepemiluan, melalukan  kegiatan Traning of taning (TOT) dikalangan Pelajar tingkat SMA/Sederajat, Melakukan Pertemuan dengan Kelompok Kepemudaan/Mahasiswa. Dengan demikian, cerdas dalam memilih menjadi aspek penting yang wajib dimiliki oleh setiap Pemilih Pemula, demokrasi diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran politik sebagai pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Indonesia ke depannya ditentukan oleh pilihan politik pemilih yang objektif dan mengedepankan rasionalitas. Pilihlah kandidat yang terbaik yang dapat memperjuangkan hak-hak masyarakat dan berani berbicara dalam kebenaran. Pemilih yang cerdas menghasilkan pemimpin yang jujur, cerdas, adil, dan mampu menjaga amanah. Semakin tinggi kualitas Pemilu, semakin baik pula kualitas para wakil rakyat yang bisa terpilih dalam lembaga perwakilan rakyat maupun pemimpin di lingkup eksekutif. pemilih pemula yang cerdas secara internal harus didukung oleh pihak keluarga yang memberikan pemahaman akan pentingnya dalam memberikan hak suaranya dalam demokrasi lokal dan nasional. Pendidkan Pemilih dan sosialisasi bukan hanya tugas dari Penyelengaran Pemilu akan tetapi adil Pemerintah dan Lingkungan Sekolah juga sangan penting, agar Pemahaman dari pentingnya pemilu dan demokrasi dan akan pentingya hak suara dalam Perpolitikan  ini bisa tesampaiakan secara masif kepada pemilih Pemula,ditambah dengan pendidikan politik kepada pemilih pemula dan juga harus didukung oleh sosialisasi partai politik dalam mengusung calon kepala daerahnya, serta peran Media juga sangat dibutuhkan dalam penyampaiakan Pesan dan edukatifi lewat media cetak,elektronik dan online. melalui pendidikan politik secara dini pada pemilih pemula, sehingga bisa meningkatkan mutu atau kualitas dan cerdas pada pemilih pemula dalam dunia politik.    

Pemilu 2024 Dengan Desain Damai

Oleh : Ory Sativa Sakban, S.Pd.I Saya kira kita sepakat bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen, bukan homogen. Akhir-akhir ini kita merasa seolah kita ini homogen, sehingga ketika ada perbedaan sedikit saja, kita langsung ribut, saling hujat dan marah-marah. Padahal faktanya kita heterogen, kita punya ajaran kebangsaan yang bernama ‘Bhinneka Tunggal Ika’, dimana perbedaan itu adalah fitrah. Kekuatan kita sebagai anak bangsa bahwa kita ini adalah satu bangsa Indonesia, dan nilai luhur sekaligus kekuatan kita adalah penghargaan terhadap perbedaan itu. Keyakinan atas keheterogenan itu, menjadikan perbedaan pandangan dan pilihan dalam pemilu dan pemilihan sebagai suatu kewajaran, sehingga konflik sebenarnya adalah hal yang wajar dalam pemilu dan pemilihan. Namanya juga rebutan kursi, bahkan musawarah mufakat saja bisa dibilang konflik, adu gagasan dan pemikiran itu adalah konflik untuk menuju mufakat. Pemilu adalah konflik yang sah dan legal untuk memperebutkan dan/atau mempertahankan kekuasaan. Pemilu itu sendiri adalah konflik, dan perbedaan pilihan adalah sah. Maka komitmen kita sebagai anak bangsa adalah menjaga agar konflik tersebut tidak melebar dalam bentuk kekerasan fisik dan verbal. Yang harus jadi catatan adalah, karena kita heterogen, perbedaan itu adalah suatu yang sunnatullah dan pemilu pasti ada konfliknya, maka disana kanalisasinya harus ada dan berfungsi dengan baik. Disanalah peran Bawaslu, DKPP, Kepolisian, TNI, Kejaksaan dan MK. Dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilihan, perlu komitmen yang tinggi dari berbagai pihak untuk mematuhi aturan yang sudah dibuat oleh Pemerintah dan DPR terkait dengan pemilu. Undang-undang Pemilu sudah mengatur semua, mempersiapkan lembaganya dengan detail sebagai instrumen kanalisasi terhadap konflik yang melampaui batas, yaitu terhadap pihak yang sudah menggunakan kekerasan baik fisik maupun verbal selama kampanye. Seperti money politik, fitnah, hoak, ujaran kebencian, mempersoalkan lambang negara, politik identitas, politisasi agama yang berujung kepada hate speech dan bulliying dan sebagainya, itu semua adalah kekerasan verbal. Semuanya tidak akan terjadi jika seluruh pihak berkomitmen atas keheterogenan kita dan memahami substansi berpemilu-pilkada. Semua pihak harus berkomitmen menjalankan norma hukum pemilu dengan baik. Hukum Pemilu kita sudah mengatur semua, dari aspek substantif  dan struktural hukum misalnya, semua nilai luhur berdemokrasi sudah ditata dan semuanya sudah dilembagakan dan sudah ada yang menjalankan. Tinggal kita bersama membangun kultur hukum yang baik, budaya patuh terhadap hukum, taat hukum dan disiplin menjalankan hukum yang berlaku. Kultur hukum yang baik memerlukan komitmen bersama untuk membangunnya. Dengan demikian, sistem pemilu yang sudah didesain dengan baik, dapat membangun kultur kehidupan berdemokrasi yang baik dan sebaliknya kultur yang sehat juga dapat membangun sistem pemilu yang baik pula ke depannya. Titik poinnya adalah, Pemilu dan Pemilihan 2024 adalah ujian atas konsistensi dan komitmen kebangsaan kita. Tentu kita semua yang akan menentukan, pilihannya adalah, apakah kita akan memilih kultur demokrasi yang beradab dan berperadaban atau sebaliknya. Kata kuncinya adalah, bahwa semua yang kita lakukan hanyalah ikhtiar, dan yang dituju dari ikhtiar itu adalah implementasi dari sila kelima Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Suka atau tidak suka, electoral engginering (desain sitem pemilu) kita sebenarnya sudah mengatur pemilu dan pemilihan itu harus berjalan damai. Pemilu dan pemilihan kita tidak didesain brutal dan terlalu bebas, sebaliknya didesain damai. Seperti kita ketahui pada Pemilu 2019, partai politik bertarung untuk memperebutan kursi legislatif, namun tidak bisa ‘cakar-cakaran hebat’ dengan partai politik lainnya, karena disaat bersamaan, mereka sedang berkoalisi dan berkepentingan untuk memenangkan Pemilihan Presiden dan Waki Presiden. Pemilu dan Pemilihan 2024 lebih asyik lagi, karena di tahun yang sama dan bahkan sangat berdekatan, meski berbeda koalisi pada saat Pemilihan Presiden dan Waki Presiden dan tarung rebutan kursi legislatif, namun partai politik harus berangkulan lagi untuk kepentingan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Artinya tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, dan yang abadi hanyalah kepentingan. Namun yang terpenting adalah, membangun kesadaran bersama dan mengedukasi masyarakat akan hal tersebut, sehingga polarisasi berkepanjangan pasca elektoral tidak terjadi. Titik tekannya adalah, bahwa semuanya hanya masalah legitimasi kekuasaan, dan tujuannya adalah rakyat, tidak boleh tidak, dan partai politik adalah salah satu pilar terpenting dalam mewujudkan kultur demokrasi indonesia yang baik dan bermartabat.(*)

Pemilu 2024: Melawan Oligarki?

oleh : ZULNAIDI Ketua KPU Kabupaten Padang Pariaman Robert Michels seorang sosiolog Itali kelahiran Jerman, awal abad 20-an mengemukakan sebuah teori tentang demokrasi yang menyebutkan bahwa, seperti semua organisasi besar lainnya, organisasi (negara/kekuasaan) cenderung berubah menjadi oligarki. Dan dalam catatan sejarah, oligarki sering berubah menjadi tirani. Oligarki berasal dari bahasa Yunani: oligos yang berarti sedikit dan arkho yang berarti memerintah. Oligarki merupakan bentuk kekuasaan yang berada ditangan segelintir orang yang mungkin saja mereka punya kesamaan latar dan kepentingan namun hampir bisa dipastikan mereka menyatu dengan tujuan mendominasi kekuasaan dan bahkan mengkapitalisasi untuk kepentingan kelompok mereka. Dalam praktiknya, motif oligarki berhubungan penguasaan sumberdaya dan mengakumulasikan secara dominan dalam kelompok kecil. Dalam konteks negara, kekuasaan yang oligarkis hampir dipastikan menggunakan sumberdaya materi pada tahap awal kemudian mengkooptasi seluruh sumberdaya negara dan lembaga yang ada untuk tujuan dominasi dan eksploitasi. Lalu apa kaitannya dengan pemilu? Sebelum kita menjawabnya, perlu kita melihat sekilas bahwa negara Indonesia menggunakan sistem Demokrasi dalam praktik bernegaranya. Ada beberapa prinsip pokok yang musti dijalankan agar suatu negara layak disebut negara Demokrasi diantaranya: prinsip setiap orang dijamin kesamaan hak untuk memilih pemimpin atau menjadi pemimpin; tersedianya pemilu yang bebas dan jujur untuk menjalan hak tersebut; dan hukum menjadi panglima dimana setiap orang equal dihadapan hukum. Praktik oligarkis secara teori dan praksis pasti bertentangan dengan prinsip Demokrasi diatas terkhusus jika kita tinjau dari aspek pemilu. Pemilu demokratis mensyaratkan kebebasan, jujur dan adil sedangkan, oligarki menggunakan seluruh sumber daya mereka terutama sumberdaya materi (baca: uang) sebagai alat intervensi dan manipulasi dengan tujuan untuk memastikan kekuasaan yang dihasilkan pemilu bisa mereka kuasai. Penggunaan uang dalam kontestasi pemilu terutama dalam termis money politics adalah keniscayaan bagi mereka. Hal ini bukan hanya mendistorsi prinsip bebas dalam pemilu tapi juga merusak basis tegaknya prinsip jujur dan adil. Setiap pemilih yang memilih karena motif uang barang atau janji kompensasi materi, mereka bukan hanya dicabut dari akar legitimasi yang mereka miliki tapi juga mengkorupsi nalar/akal sehat mereka. Pemilih yang dipaksa oleh kuasa materi saat memilih adalah pemilih yang tidak jujur pada tujuan pemilu, tidak bebas dalam memaksimalkan ikhtiar, tidak fair dan pasti tidak berintegritas. Terjadi distorsi sehingga tujuan pemilu untuk melahirkan kekuasaan legitimasi tidak mungkin sepenuhnya terwujud dan sudah bisa dipastikan berdampak pada sistem pemerintahan yang seharusnya berorientasi pada cita-cita proklamasi dan Pembukaan UUD 1945. Money politics bukan hanya bertentangan dengan teori Demokrasi dan prinsip pemilu yang berkualitas, ia juga merupakan kejahatan (ex.Pasal 280 ayat (1) huruf j Undang-Undang No. 7 Tahun 2017) sebagaimana diatur dalam UU Pemilu. Implikasi lanjutnya kejahatan ini mungkin makin membesar menjadi kejahatan korupsi dan sebagainya. Kita wajar berharap pada konstitusi untuk melawan oligarki meskipun sejarah bangsa membuktikan konstitusi bisa saja dikangkangi. Kita pernah berharap pada elit bangsa meskipun kadang mereka bisa saja tak berdaya atau terperdaya. Namun kita perlu agak serius berharap pada rakyat pemilih agar menjadi gelombang massif melawan oligarki terutama melalui pemilu 2024. Ini sejalan dengan pandangan Olle Tornquist, ilmuwan politik Universitas Oslo yang mensinyalir perubahan fundamental-politik (melawan oligarkis) hanya mungkin jika melibatkan popular (masyarakat), bukan berharap pada elit. Namun hampir saja harapan ini bagai menggantang asap, bagaimana tidak? Dari pemilu ke pemilu, dari pilkada ke pilkada kita selalu berteriak lawan money politics, namun kelihatannya bukan makin berkurang malah makin menjadi dan merembet sampai ketingkat desa/nagari. Hal ini tidak terlepas dari peran pendidikan politik yang terindikasi tidak berjalan sebagaimana mestinya (lihat UU Parpol) , pendidikan pemilih lebih soal aspek teknis pemilu saja dan begitu juga sosialisasi dan publikasi yang lemah sekali orientasinya untuk pencerdasan politik masyarakat. Menyongsong Pemilu 2024, kita musti serius menggarap isu ini yakni menggunakan instrumen pendidikan politik pemilih dan publikasi media massa untuk membangun kecerdasan politik warga sebagai prasyarat perubahan. Pemilih yang bebas jujur dan adil merupakan ejawantah dari integritas (moral). Sedangkan integritas hanya akan mewujud jika proses internalisasi nilai Pancasila dan cinta negara/bangsa benar-benar tertancap kokoh disanubari rakyat/pemilih terutama dengan landasan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Moga! Opini ini telah diterbitkan koran Padang Ekspres, Jum'at 10 Juni 2022

Hikmah Penataan Dapil DPRD Kab/Kota (BAG.2)

Oleh : Ory Sativa Syakban, S.Pd.I Anggota KPU Kabupaten Padang Pariaman, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan   lanjutan dari Bag.1 (baca juga Bag.1) Dengan penerapan prinsip penataan dapil diatas, Dapil menjadi daerah yang tidak saja sebagai daerah kontestasi kekuasaan Parpol, atau wilayah tempat pejabat publik dipilih, tetapi juga sebagai lingkup pemilih akan menentukan siapa yang akan dipilih mewakilinya di wilayah tersebut. Hal ini berguna Untuk menjamin agar demokrasi perwakilan dan representasi politik berjalan baik. Pembentukan Dapil mampu menunjukkan suatu komunitas kepentingan yang sama dan menjamin perasaan diwakili (representativeness), dimana dapil dibentuk berdasarkan komunitas yang memiliki karakteristik dan kepentingan yang lebih kurang sama, sehingga Konstituen dengan dapil seperti ini berkesempatan memilih kandidat yang mereka pandang cocok mewakili mereka. Dengan Dapil yang jelas, Pemilih sebagai pemilik kedaulatan mengetahui siapa legislator yang mewakili mereka, kepada siapa mereka menyampaikan aspirasi, tuntutan pembangunan, serta menuntut pertanggungjawaban kinerja, sebaliknya, Wakil rakyat juga akan mengetahui dengan jelas konstituen yang diwakili, aspirasi apa yang akan mempengaruhi keputusan dan kepada siapa pula dia harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya. Khittah sistem pemilu proporsional mempertimbangkan proporsi dari jumlah kursi, dimana Parpol dapat mencalonkan Banyak kandidat di dalam Dapil dan terbukanya peluang yang sama untuk Parpol baru memperoleh suara di suatu Dapil dan untuk memperoleh kursi. Namun yang paling penting dalam sistem Pemilu proporsional adalah, prinsip penghargaan setiap satu suara pemilih. Hikmah Sistem ini bertujuan untuk meminimalisir suara yang terbuang, Artinya pemilih tidak sia-sia menggunakan hak pilih mereka. Banyaknya Fragmentasi Parpol dan tingginya jumlah Perwujudan wakil yang memperoleh jumlah kursi akan menentukan tingkat representasi hasil pemilu. Semakin banyak jumlah wakil yang dapat dipilih dari satu Dapil, maka hasil pemilunya akan semakin proporsional. Sebaliknya, semakin sedikit jumlah wakil yang dapat dipilih dari suatu Dapil, maka hasil pemilunya dimungkinkan tidak proporsional.    Baca Juga "Keniscayaan Re-alokasi Kursi DPRD Kab/Kota" *Artikel ini sudah dimuat pada Koran Harian Padang Ekspres pada kolom opini senin 14 februari 2022, dan dimuat beberapa media online www.datiak.com, www.suaragerakan.com dan www.sigi24.com dalam versi artikel yang lebih panjang

Populer

Belum ada data.