Opini

310

Keniscayaan Re-Alokasi Kursi DPRD Kab/Kota

Oleh : Ory Sativa Syakban, S.Pd.I Anggota KPU Kabupaten Padang Pariaman, Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraan   Senin Malam, 14 Februari 2022, KPU melaunching Hari Pemungutan Suara Pemilu Tahun 2024 secara nasional, diikuti KPU Provinsi dan Kab/kota se-indonesia, menghadirkan forkopimda, Bawaslu, Pimpinan Parpol dan pihak terkait dari Provinsi dan kab/kota tersebut secara daring. Dari sekian banyak diskusi dan Pertanyaan yang terbersit oleh peserta forum malam itu ditempat penulis bekerja, ada satu pertanyaan yang ingin penulis ulas, yaitu “Bagaimana dengan Dapil DPRD Kab/Kota dan Alokasi Kursi tiap dapil Pada Pemilu tahun 2024 esok?. Kita maklum, Dapil DPR dan DPRD Provinsi, tidak mengalami perubahan, pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU nomor 7/2017 Tentang Pemilu telah terang benderang menetapkan Dapil untuk Pemilu DPR dan DPRD Provinsi sebagaimana tercantum dalam lampiran III dan Lampiran IV UU tersebut. Namun, Pasal 195 UU tersebut, mengamanahkan kepada KPU untuk menyusun dan menetapkan Dapil DPRD Kab/Kota, yang terdiri dari kecamatan atau bagian kecamatan atau gabungan kecamatan yang dibentuk sebagai kesatuan wilayah berdasarkan jumlah penduduk untuk menentukan Alokasi Kursi DPRD Kab/Kota sebagai dasar pengajuan caleg oleh Parpol, dan penetapan calon terpilih.   Ada tujuh Prinsip Penataan Dapil yang wajib dipatuhi oleh KPU Kab/Kota dalam menyusun alternative usulan penataan Dapil DPRD Kab/Kota untuk diuji publikkan sebelum ditetapkan oleh KPU RI, sebagaimana diatur pada pasal 185 UU pemilu, yaitu ; Prinsip Kesetaraan Nilai Suara, Ketaatan pada sistem pemilu yang proporsional, Proposionalitas, Integralitas Wilayah, berada dalam wilayah yang sama, Kohesivitas dan Kesinambungan Dapil pada pemilu sebelumnya. Penataan Dapil dan Re-Alokasi Kursi DPRD Kab/kota sangat ditentukan oleh Dinamika Data Wilayah Administrasi dan Jumlah Penduduk. Kemendagri sekali 6 bulan mengumumkan dinamika itu dalam bentuk Data Agregat Kependudukan dan dipublish dilaman resmi mereka, atau laman resmi disdukcapil kab/kota, tentu berbagai pihak dapat mencermati data tersebut. Penataan Dapil dan Re-Alokasi Kursi DPRD Kab/kota adalah suatu keniscayaan, dari regulasi yang ada, penulis menyimpulkan setidaknya ada tiga penyebab utama, pertama, adanya dinamika wilayah administrasi kab/kota, seperti adanya Kab/Kota hasil pemekaran pasca pemilu tahun 2019, adanya Kab/Kota Induk yang sebagian wilayannya telah mekar, atau hilang karena bencana dsb, atau terjadinya penambahan atau pengurangan jumlah kecamatan di kab/kota. Kedua, adanya dinamika Jumlah Penduduk, seperti pertumbuhan  dan pengurangan jumlah penduduk yang mengakibatkan alokasi kursi tiap dapil lebih dari 12 kursi atau kurang 3 kursi, dan yang Ketiga, tidak terpenuhinya lagi prinsip-prinsip penataan dapil itu sendiri. Penyebab ketiga ini, bisa terjadi karena pendataan Dapil DPRD Kab/kota pada pemilu 2019 tidak memenuhi tujuh prinsip penataan dapil yang sudah kita kemukaan sebelumnya, dan bisa jadi sebagian dari prinsip-prinsip tersebut perlu diperhatikan lagi, sehingga Dapil DPRD Kab/Kota wajib ditata-ulang atau Alokasi Kursi tiap Dapil DPRD Kab/kota perlu ditinjau kembali. Adanya pengurangan atau penambahan penduduk pada satu dapil misalnya, tentu prinsip kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sisten pemilu proporsional dan prinsip proporsionalitas pada Dapil DPRD Kab/Kota tersebut perlu diperhatikan ulang, meskipun prinsip-prinsip penataan dapil yang lainnya sudah terpenuhi. Terjadinya pengurangan atau penambahan jumlah penduduk pada satu Dapil DPRD Kab/kota, dipastikan mempengaruhi Bilangan Pembagi Penduduk (BPPd) sebagai acuan penghitungan pembagian alokasi kursi dapil. BPPd diperoleh dari jumlah penduduk kab/kota dibagi dengan Alokasi Kursi DPRD Kab/kota. Penerapan Prinsip Kesetaraan Nilai Suara wajib dilakukan dengan mengupayakan nilai suara atau harga kursi yang setara antara satu dapil dengan dapil yang lainnya, sehingga setiap satu suara pemilih berharga dan partisipasi pemilih dalam menggunakan hak politiknya tidak sia-sia. Mengingat bahwa setiap dapil mendapat Alokasi Kursi sesuai dengan jumlah penduduk yang berdomisili di wilayah tersebut, KPU wajib menghitung kembali BPPd dan menghitung potensi Re-Alokasi kursi setiap Dapil DPRD Kab/kota, sehingga dapil menjadi representative dan Prinsip persamaan kedudukan warga negara dalam pemerintahan dan prinsip one man, one vote, one value terwujud. Selain mempertimbangkan proporsi jumlah kursi besar, agar seluruh Parpol mendapatkan kesempatan yang setara dalam memperoleh suara dan kursi di suatu Dapil DPRD Kab/kota, KPU juga memperhatikan keseimbangan Alokasi Kursi antar Dapil, dan dinamika jumlah penduduk antar dapil wajar menimbulkan kesenjangan jumlah kursi antar Dapil. Penghitungan alokasi kursi Dapil DPRD Kab/kota, berdasarkan Keputusan KPU nomor 18 tahun 2018 tentang Juknis Penataan Dapil dan Alokasi Kursi DPRD Kab /Kota, mengatur beberapa langkah yang dilakukan KPU Kab/Kota dalam menyusun usulan alokasi kursi sebelum ditetapkan KPU, pertama, menentukan jumlah Kursi untuk Kab/Kota mengacu pada pasal 191 ayat (2) UU no 7/2017 tentang Pemilu, yakni alokasi kursi DPRD kab/kota interval 20 hingga 55 kursi dan dengan interval jumlah kursi dalam tiap dapil 3 hingga 12 kursi. Kedua, menetapkan BPPd dengan cara membagi Jumlah Penduduk Kab/Kota dengan alokasi kursi DPRD Kab/Kota tersebut. Ketiga, menata Dapil DPRD Kab/kota yang terdiri dari Bagian Kecamatan atau 1 Kecamatan atau menggabung 2 Kecamatan atau lebih menjadi Dapil-Dapil tertentu, setelah memperhitungkan prinsip-prinsip penataan dapil dan memperhatikan estimasi jumlah alokasi kursi perkecamatan yang akan dijadikan satu dapil, agar proporsi alokasi kursi masing-masing dapil seimbang. Keempat, menentukan Alokasi Kursi Dapil dengan cara menghitung jumlah penduduk dalam satu dapil yang sudah ditata pada tahapan sebelumnya, kemudian membaginya dengan BPPd yang sudah ditentukan. Sebagai simulasi untuk kita semua, sebuah Kota A memiliki jumlah penduduk sebanyak 460.000 jiwa, terdiri dari 8 kecamatan dimana 4 kecamatannya adalah hasil pemerkaran dari 4 kecamatan lainnya, maka alokasi kursi DPRD Kota A tersebut adalah 40 kursi. lalu tentukan BPPd dengan cara 460.000 jiwa dibagi 40 kursi, diperoleh Angka BPPd 11.500. Kemudian alternative Dapil disusun dengan cara mengabungkan  kecamatan induk dan pemekaran sehingga menjadi 4 Dapil, kita umpamakan Dapil Kota A1 jumlah penduduk 127.000, Kota A2 jumlah penduduk 128.000, Kota A3 105.000 dan Kota A4 jumlah penduduk 100.000. Seluruh jumlah penduduk dalam tiap dapil dibagi dengan BPPd 11.500, maka menghasilkan alokasi kursi dapil pada penghitungan awal sebagai berikut, Dapil Kota A1 11 Kursi, Dapil Kota A2 11 Kursi, Dapil Kota A3 9 kursi dan Dapil Kota A4 8 kursi, dengan total 39 kursi. Pada penghitungan tahap pertama masih terdapat sisa alokasi kursi, sebanyak 1 kursi lagi, maka sisa alokasi kursi dibagikan ke dapil dengan peringkat sisa Hasil pembagian BPPd tertinggi. Yaitu Dapil Kota A4, dimana, Jumlah Penduduk 100.000 jiwa dibagi BPPd 11.500, menghasilkan angka penuh 8, dengan sisa pembagian 8.000. maka pada penghitungan alokasi kursi kedua, kursi pada Dapil Kota A4 ditambah 1 kursi, sehinggan alokasi kursi pada Kota A genap 40 kursi. Harga Kursi tiap dapil hasil simulasi ini diyakini kurang lebih setara dengan jumlah kursi yang proporsional. Penulis mengajak pemilih, aktivis dan pegiat pemilu untuk seksama memperhatikan dinamika wilayah dan jumlah penduduk pada tiap Kab/Kota, agar penataan Dapil dan Re-Alokasi Kursi DPRD Kab/Kota untuk Pemilu 2024 memenuhi prinsip penataan dapil dan seluruh pihak dapat menerimanya dengan bijaksana pula.   Baca Juga "Hikmah Penataan Dapil DPRD Kab/Kota" *Artikel ini pernah dimuat pada media online rumahpemilu.org dan suaragerakan.com


Selengkapnya
55

Partisipasi Pemilih Tanggung Jawab Siapa

Ditulis Oleh Zulnaidi, SH ketua KPU Padang Pariaman Pertanyaan tentang siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dalam memastikan partisipasi pemilih dalam setiap agenda elektoral di negara ini, menjadi pertanyaan yang selalu berulang dari satu momentum ke momentum lain ketika agenda Pemilu (Pemilihan Umum) dan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dilaksanakan. Jika kita lacak dasar normatif tentang konsep partisipasi pemilih, baik dari aspek terminologis sampai dengan aspek sukyektif, sebenarnya tidak ada satu normapun yang secara tegas menyebutkan tentang siapa yang bertanggung jawab secara tunggal terhadap capaian partisipasi pemilih dalam setiap agenda elektoral. Namun, seolah-olah ia menjadi tanggung jawab penyelenggara Pemilu (termasuk Pilkada) saja, karena lembaga inilah secara intens dalam kurun waktu tertentu bertugas/berperan dalam tahap demi tahap penyelenggaraan Pemilu. Untuk melacak alur argumen tentang partisipasi ini dengan pendekatan induktif-normatif, kita bisa menemukan klausulnya dalam PKPU (Peraturan Komisi Pemilihan Umum) tentang kampanye (Nomor 4 Tahun 2017) – terkait Pilkada, Pasal 4 (3) yang menyebutkan: ”…pendidikan politik dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi pemilih”. Meskipun klausul ini belum menjawab pertanyaan awal, namun memberikan kita kata kunci bahwa partisipasi pemilih punya hubungan sebab-akibat dengan pendidikan politik. Pendidikan politik merupakan konsep yang lazim dalam kajian negara demokrasi. Ia menjadi prasyarat untuk tumbuh berkembangnya kehidupan bernegara yang sehat, dinamis dan demokratis. Karena itu, terma ini dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Terutama peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan politik. Dalam UU Parpol (Partai Politik) Nomor 2 Tahun 2008 (diubah UU Nomor 2 Tahun 2011) Pasal 1 Angka 4, secara limitatif menyebutkan bahwa pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga, dengan argumen sederhana jika kita gabungkan klausul yang dimuat PKPU dan UU di atas, maka partisipasi pemilih adalah buah dari pendidikan politik. Jika argumen ini benar, pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah: Siapakah yang bertanggung jawab dalam pendidikan politik? UU Parpol secara gambling menjawab bahwa yang bertanggung jawab adalah partai politik: “Parpol wajib memuat perihal pendidikan politik dalam AD/ART-nya (Pasal 2 (4) huruf h)”, kewajiban ini berkaitan dengan peran penting Parpol sebagai sarana pendidikan politik untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban warga Negara (Pasal 11 (1) huruf a). Bahkan, lebih tegas lagi Pasal 13 huruf e menyebutkan bahwa Parpol berkewajiban melakukan pendidikan politik. Hal mana tujuan pendidikan politik itu sendiri salah satunya untuk meningkatkan partisipasi dan inisiatif politik (baca: Pemilu) (lihat Pasal 31). Lalu, bagaimana cara atau metode apa yang bisa dipilih oleh Parpol untuk menjalankan kewajibannya ini? Jika kita tilik dari UU Pilkada (terakhir diubah menjadu UU Nomor 6 Tahun 2020), pendidikan politik termanifestasi dalam bentuk kegiatan kampanye (pasal 63 (1)), meskipun bentuk pendidikan politik itu sendiri banyak pilihan (lihat Pasal 131). Kampanye sebagai wujud pendidikan politik dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi pemilih (Pasal 4 PKPU) tentu saja dengan cara memberikan informasi yang benar, seimbang dang bertanggung jawab kepada warga Negara. Apakah Hanya Tanggung Jawab Parpol Saja? Ternyata tidak! amanah yuridis tentang partisipasi pemilih  juga menjadi tanggung jawab pemerintah (baca: Pemda). Sebagaimana secara khusus dalam UU Pilkada menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) bertanggung jawab mengembangkan kehidupan demokrasi di daerah, khususnya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya (Pasal 133 A). Ya! Pemda ternyata punya tanggung jawab terkait partisipasi pemilih dalam Pilkada. Lalu di mana peran penyelenggara Pemilu/Pilkada, kenapa KPU selalu menetapkan target partispasi pemilih (contoh: target 77.5 % partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020)? Jika pendidikan politik kita posisikan sebagai rumah besar, maka di dalamnya ada bagian/ruang yang disebut pendidikan pemilih, sebuah ruang yang berkaitan dengan konteks waktu atau momentum tahapan Pemilu/Pilkada – di sinilah peran penyelenggara itu dimainkan. Dalam PKPU 10 Tahun 2018 (terkait partisipasi masyarakat dalam Pemilu) Pasal 1 Poin 25 disebutkan bahwa pendidikan pemilih adalah proses penyampaian informasi kepada pemilih untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran pemilih tentang Pemilu. Pendidikan pemilih itu sendiri bisa berupa mobilisasi massa yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi pemilih (Pasal 1 Angka 26). Cakupan kegiatan pendidikan pemilih ini sangatlah luas, meliputi kegiatan menyebarkan informasi (tahapan, program dan jadwal Pemilu); meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kesadaran masyarakat (hak dan kewajiban dalam Pemilu); ataupun kegiatan yang bertujuan meningkatkan partisipasi pemilih. Namun perlu diingat, bahwa pendidikan pemilih ternyata tidak hanya menjadi monopoli penyelenggara Pemilu saja karena efektifitas capaian akan rendah jika tidak ada keterlibatan seluruh unsure yang ada dalam masyarakat. Karena itu, secara normatif Negara memberikan ruang seluas-luasnya bagi setiap warga negara, organisasi, kelompok masyarakat, pers dan lembaga pendidikan untuk mengambil peran dalam kegiatan pendidikan pemilih ini. Namun, tentu saja harus tunduk pada prinsip-prinsip penyelenggaraan Pemilu yang jurdil (jujur adil), transparan dan independen. Sekali lagi, pendidikan pemilih bersifat spesifik dan berbeda dengan pendidikan politik. Dalam nomenklatur pendidikan pemilih tidak dikenal terma kampanye, melainkan yang ada hanya terma sosialisasi/publikasi. Tentunya, kegiatan tersebut mengharapkan peran serta/pelibatan unsur pemerintah dan non-pemerintah. Sedangkan dalam kampanye, dibatasi pihak yang bisa dilibatkan. Bahkan, keterlibatan pemerintah merupakan kewajiban (Pasal 35, PKPU 18/2018) terutama untuk memberikan bantuan dan fasilitas dalam pelaksanaan sosialisasi pemilih, agar keterlibatan masyarakat dalam Pemilu bisa maksimal. Pada akhirnya, kita sampai pada satu pemahaman bahwa kerja demokrasi terutama terkait momentum elektoral membutuhkan kerja keras semua pihak dalam porsi masing-masing secara maksimal. Ketimpangan dalam pelaksanaan peran dan tanggung jawab bisa dipastikan berimbas pada kesadaran politik warga/pemilih dan pada akhirnya seideal apapun target partisipasi pemilih yang ditetapkan tidak akan pernah jadi kenyataan. Mari saling menguatkan!  Opini ini juga telah diterbitkan Oleh media online Datiak.com (link : https://www.datiak.com/partisipasi-pemilih-tanggung-jawab-siapa/ ) 23 september 2020  


Selengkapnya